Menu DropDown

Jumat, 27 April 2018

Jurnal PPh pasal 25 ke Uang Muka

Jurnal PPh pasal 25 ke Uang Muka

Jurnal angsuran PPh pasal 25/29 :
dr.Uang Muka - PPh pasal 25/29.xx
kr.Kas....................................xx

Saat Pelunasan Pph Pasal 25/29
dr. PPh pasal 25/29.........xx
kr...Uang Muka PPh pasal 25/29....xx
kr...Kas.......................................xx 

Kamis, 26 April 2018

Notifikasi CbCR sesuai PER-29/PJ/2017

Notifikasi CbCR sesuai PER-29/PJ/2017


Sesuai Pasal 4 Ayat 1 PER-29/PJ/2017, Form Notifikasi ini merupakan Dokumen yang wajib dibuat oleh Wajib Pajak Badan yang merupakan Entitas Konstituen yang memiliki transaksi afiliasi.Jika Subjek Pajaknya adalah Wajib Pajak Badan yang merupakan Induk atau Entitas Konstituen yang memiliki kewajiban pelaporan Laporan per Negara (CbCr), Sesuai Pasal 4 Ayat 2 PER-29/PJ/2017 maka Form Notifikasi ini wajib disampaikan bersamaan dengan Laporan per Negara (CbCr)
Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak No. 3 Tahun 2018 Nomor 2 huruf B menyebutkan bahwa Tambahan Dokumen terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016:

  • Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa harus melampirkan Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal, dan Laporan per Negara dalam SPT Tahunan PPh Badan.
  • Tata cara pengelolaan dan pelaporan Laporan per Negara mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-29/PJ/2017.

Informasi lebih lanjut mengenai CbCr Report termasuk peraturan yang terkait dapat dilihat pada halaman:


Senin, 23 April 2018

Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan (PPh) Setelah PP 46

Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan (PPh) Setelah PP 46

Di tulisan ini akan bahas mengenai “Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan (PPh) Badan pasca diberlakukannya PP 46 (PPh Final 1 Persen).” Meskipun membahas aspek perpajakan, saya akan lebih menekankan perlakuan akuntansinya.
Rekan yang bekerja atau menangani klien perusahaan skala mikro-kecil-menengah (UMKM) pastinya banyak berurusan dengan PP 46. Sebab, yang kena peraturan baru ini memang hanya UMKM dengan omzet (penghasilan kotor) tak lebih dari 4,8 milyar per tahun, baik itu wajib pajak perorangan (WPO) mapun Badan Usaha (WP Badan).
Kasarannya, sbb:

  • Untuk wajib pajak beromzet maksimal Rp 4,8 milyar/tahun (atau maksimal Rp 400 juta per bulan), berlaku PP 46, artinya membayar PPh Pasal 4 (2) dengan tarif 1 persen dari omzet per bulan dan bersifat final (tidak bisa dikreditkan).
  • Untuk wajib pajak beromzet di atas Rp 4,8 milyar/tahun, berlaku UU PPh normal, artinya mengangsur PPh Pasal 25, dan menghitung Pajak Badan Terutang di akhir tahun berdasarkan PPh Pasal 31e dan Pasal 17.
Gampang?
Entah anda, tapi sebagian besar klien yang saya tangani—baik yang beromzet 4,8 milyar ke bawah maupun yang di atas 4,8 milyar—masih bingung. Saya bukan konsultan pajak, tapi demi kelancaran bersama saya memilih pro-aktif dengan cara datang ke KPP dan bertanya pada AR yang rata-rata bersedia menjelaskan.

Sumber Kebingungan

Secara umum, akuntansi jauh lebih rumit ketimbang perpajakan. Namun khusus untuk penerapan peraturan PP 46 ini saya pribadi akui memang lebih rumit dibandingkan perlakuan akuntansinya. Apakah karena baru? Entahlah.
Dari keluhan yang saya terima dari beberapa klien, ada 4 hal utama yang membuat PPh Final 1 persen ini agak membingungkan, yaitu:
1. Baru – PP 46 ini baru (sejak Juli 2013), wajar jika masih agak membingungkan sebagian wajib pajak. Menjadi semakin membingungkan karena peraturan ini keluar di pertengahan tahun takwim dan berlaku saat itu juga. Karena berlaku di seketika di pertengahan tahun maka untuk Tahun Fiskal 2013 semester pertama masih pakai aturan lama, sementara semester keduanya pakai aturan baru ini, ini jelas membingungkan terutama saat membuat SPT di akhir 2013. Ditambah lagi kurangnya waktu sosialisasi.
2. Penentuan Batas Omzet – Terkait penentuan omzet (“tidak tembus” dan “tembus” 4,8 milyar) membingungkan sebab: batasan 4,8 milyar adalah untuk satu tahun, sementara penghitungan setoran 1 persen harus dilakukan setiap bulan. Pertanyaan yang banyak muncul: bagaimana wajib pajak bisa yakin akan beromzet “tidak tembus” atau “tembus” 4,8 milyar setahun, sementara tahun belum berakhir? (lihat yang berikut ini)
3. Fluktuatif – Omzet (Penjualan) bersifat fluktuatif. Contoh: omzet bulan ini hingga beberapa bulan ke depan mungkin rata-rata Rp 450 juta, bagaimana jika nanti ternyata turun sehingga total setahunnya tidak tembus 4,8 milyar sementara kami sudah terlanjur setor PPh Pasal 25? Atau sebaliknya—omzet bulan ini hanya 350 juta, bagaimana jika nanti ternyata naik sehingga totalnya setahun tembus Rp 4,8 milyar sementara kami terlanjur bayar PPh Final 1 persen?
4. Istilah Final – Terutama bagi saya (dan rekan-rekan orang accounting lainnya), istilah “Final” atau “tidak final” (baca: bisa atau tidak bisa dikreditkan/dikompensasikan) sangat menentukan bagaimana cara kita mengakuinya di dalam laporan keuangan komersial. Pajak yang sifatnya final—seperti “Pajak atas Bunga Jasa Giro” dan lainnya—yang masuk obyek PPh Pasal 4 (2), langsung kita bebankan (Beban PPh). Sedangkan pajak yang “tidak bersifat final” (e.g. PPh Pasal 22 dan 23) kita akui sebagai “Utang PPh” bernilai negative (di sisi debit) yang artinya akan menjadi faktor pengurang Utang PPh sebab di akhir tahun bisa dikreditkan (dikompensasikan). Dan, khusus PPh Pasal 25 (angsuran PPh Badan) biasanya kita akui sebagai “Uang Muka PPh” yang nantinya juga akan menjadi faktor pengurang PPh Badan. Masalahnya, pajak PPh 1 persen dari omzet ini masuk kelompok Pasal 4 (2) dan disebut “final,” pertanyaan yang muncul kemudian: apakah tidak ada perubahan terlepas berapapun total omzet diketahui di akhir tahun? Kerumitan macam inilah yang menghantui pikiran kita di accounting—setidaknya di awal-awal (saat petunjuk pelaksaannya belum jelas).
Empat hal itulah yang menjadi sumber utama kebingungan terkait perlakuan akuntansi PPh pasca PP 46 Tahun 2013. Belum lagi terkait pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain, belum lagi pemisahan perlakuan antara penghasilan usaha dan penghasilan dari pekerjaan lepas. Intinya pusing tujuh keliling.

Solusi?

Kunci utama agar perlakuan akuntansi PPh nya menjadi PAS (tidak membingungkan lagi), menurut saya, pahami petunjuk pelaksanaan PP 46 ini terlebih dahulu. Saya yakin semua sudah baca Peraturan Menteri Keuangan No 107/PMK.011/2013 dan Serat Edaran Dirjen Pajak No. SE-42/PJ/2013 (yang belum silahkan googling). Dari hasil membaca PMK dan SE tersebut serta arahan dari AR, terkait kebungungan-kebingunan di atas, saya akan coba perjelas melalui tulisan ini.
Dan untuk lebih mudahnya, saya bagi per tahun fiskal saja.

1. UNTUK TAHUN FISKAL 2013

Saya yakin semua sudah beres. Kan sudah lewat 2,5 tahun. Yang jelas PP 46 berlaku sejak Juli 2013, namun batasan omzet dihitung berdasarkan tahun fiskal 2012 (artinya lihat berapa besarnya “Perederan Usaha”/omzet yang tercantum pada SPT 2012):
  • Jika belum tembus 4,8 milyar berarti kena aturan PP 46.
  • Jika melewati Rp 4,8 milyar namun di bawah 50 milyar berarti kenanya UU PPh Normal (ngangsur PPh Pasal 25 per bulan dan hitung kurang bayar di akhir tahun berdasarkan Pasal 31e dan pasal 17.

2. UNTUK TAHUN FISKAL 2014

Saya rasa juga sudah pada rampung. Hanya persoalan berapa total omzet yang tercantum di SPT 2013.
  • Jika belum tembus 4,8 milyar berarti untuk tahun 2014 kemarin sepenuhnya kena PP 46—bayar PPh Pasal 4 (2) 1% x omzet per bulan.
  • Sedangkan jika tembus 4,8 milyar berarti tahun 2014 kemarin kena UU PPh normal (ngangsur PPh Pasal 25 setiap bulan dan hitung PPh Badan kurang bayar di akhir tahun berdasarkan Pasal 31e dan 17).
Catatan: Jikapun ada perubahan omzet di pertengahan tahun—entah ke atas 4,8 milyar atau ke bawah 4,8 milyar—maka yang diberlakukan tetap ketentuan di awal hingga akhir tahun Fiskal (perubahan baru diberlakukan di tahun Fiskal berikutnya.)

3. UNTUK TAHUN FISKAL 2015

Apakah kena PP 46 atau tidak, patokannya total omzet tahun 2014 (lihat SPT).
Pertanyaan: Jika kenanya PP 46, bagaimana perlakuan akuntansinya?
Jawaban: Transaksi penjualan harian dijurnal seperti biasa—mengikuti standar pengakuan pendapatan (revenue recognition)—untuk sementara lupakan urusan PPh (nanti di akhir bulan baru dipikirkan):
[Debit]. Piutang = Rp xx
[Kredit]. Penjualan Rp xx
Dan;
[Debit]. HPP = Rp xx
[Kredit]. Persediaan Rp xx
Asumsi: tanpa PPN (WP non-PKP sebab beromzet tak lebih dari 4,8 milyar per tahun). Begitulah jurnal pengakuan atas penjualan dibuat setiap hari sampai akhir bulan.
Katakanlah posisi saldo di akhir Januari 2015, sbb:
  • Saldo (Buku Besar) akun Piutang, bertambah Rp 300 Juta (Lap Posisi Keuangan)
  • Saldo (Buku Besar) akun Penjualan, bertambah Rp 300 Juta (Lap Laba/Rugi)
  • Saldo (Buku Besar) akun HPP, bertambah Rp 170 Juta (Lap Laba/Rugi)
  • Saldo (Buku Besar) akun Persediaan, berkurang Rp 170 Juta (Lap Posisi Keuangan, asumsi tidak ada pembelian)
Ini berarti, total omzetnya Rp 300 juta. Karena kena PP 46, maka total PPh Pasal 4 (2) yang harus dibayar adalah Rp 300 Juta x 1% = Rp 3 juta. Saat diketahui (di akhir bulan) diakui dengan jurnal:
[Debit]. Beban PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 juta
[Kredit]. Utang PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 juta
Sehingga, jika Beban Operasional Rp 100 juta misalnya, maka “Laba Setelah Pajak” pada “Laporan Laba/Rugi (1 s/d 31 Jan 2015)” menjadi = 300 Juta – 170 Juta – 100 Juta – Rp 3 juta = 27 Juta. Angka Laba inilah yang ditutup buku.
Dan, pada Laporan Posisi Keuangan (alias Neraca) per 31 Januari 2015 muncul Utang PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp 3 Juta. Jika dilunasi tanggal 9 Februari 2015, maka atas pelunasan tersebut dijurnal:
[Debit]. Utang PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 Juta
[Kredit]. Kas = Rp 3 Juta.
Note: setelah dilunasi saldo “Utang PPh Pasal 4 (2)” menjadi 0 (nol)
Demikian terus setiap bulannya dari Januari s/d Desember 2015 nanti. Jika total penjualan tidak lebih dari Rp 4,8 Milyar maka artinya sudah tidak ada persoalan:
  • Berapapun besarnya total penjualan, itulah nilai “Penjualan” yang disajikan pada “Laporan Laba/Rugi 2015.”
  • Berapapun total PPh Pasal 4 (2) yang disetor dari Januari s/d Desember 2015, itulah “Beban PPh Badan” (Corporate Income Tax) yang disajikan pada Laporan Laba/Rugi 2015.
  • Berapapun nilai Laba setelah dikurangi “Beban PPh Badan” itulah “Laba Setelah Pajak” yang ditutup dengan cara melawankannya dengan akun “Laba Ditahan” (Retained Earning) dan menjadi faktor penambah nilai “Ekuitas” pada Laporan Posisi Keuangan 31 Desember 2015.
PertanyaanBagaimana, kumaha, piye, what if, di akhir 2015 ternyata total penjualan (omzet) melewati angka Rp 4,8 milyar, katakankanlah Rp 5,2 milyar misalnya?
Jawaban: Berarti mulai Januari 2016 berlaku UU PPh normal (bukan PP 46 lagi), artinya mengangsur dengan PPh Pasal 25. Berapa besarnya angsuran mulau Januari 2016? Dihitung berdasarkan Laba/Rugi dan Perhitungan PPh Badan bulan Januari 2016. Misalnya, diketahui:
  • Penjualan = Rp 460 Juta
  • HPP = Rp 300 Juta
  • BOP = Rp 100 Juta
Maka:
Langkah-1. Hitung “Laba Sebelum Pajak” untuk bulan tersebut:
  • Laba Sebelum Pajak Sebulan = 460 – 300 – 100 = Rp 60 Juta
Langkah-2. Setahunkan “Laba Sebelum Pajak”:
  • Laba Sebelum Pajak Disetahunkan = Rp 60 Juta x 12 = Rp 720,000,000
Langkah-3. Pisahkan porsi laba yang memperoleh fasilitas potongan 50% dari yang tidak memperoleh fasilitas:
  • Porsi Laba mendapat potongan = [4,800,000,000/(460 juta x 12)] x 720,000,000 = Rp 626,086,957
  • Porsi Laba tidak mendapat potongan = 720,000,000 – 626,086,957 = Rp 93,913,043
Langkah-4. Hitung PPh Badan:
  • PPh Pasal 31e (dengan potongan) = 50% x 25% x 626,086,957 = Rp 78,260,870
  • PPh Pasal 17 (tanpa potongan) = 25% x 93,913,043 = Rp 23,478,261
  • Total PPh Badan = 78,260,870 + 23,478,261 = Rp 101,739,130
Langkah-5. Hitung angsuran PPh Pasal 25
  • PPh Pasal 25 = 1/12 x 101,739,130 = Rp 8,478,261
Hasil Akhir: Nilai PPh Pasal 25 yang harus dibayar setiap bulan dari Jan s/d Des 2016 sebesar 8,478,261 dan diakui dengan jurnal:
[Debit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 8,478,261 (masuk kelompok Aset pada Lap Posisi Keuangan)
[Kredit]. Kas = Rp 8,478,261
Itu jika total omzet tahun 2014 tidak tembus 4,8 milyar (tetapi baru tembus di 2015)
Pertanyaan: Bagaimana jika total omzet 2014 tembus 4,8 milyar? Bagaimana perlakuan akuntansinya untuk 2015?
Jawaban: Berarti sejak Januari 2015 lalu berlaku UU PPh normal (bukan PP 46)—mengangsur PPh Pasal 25 dengan tata cara penghitungan seperti contoh di atas. Dan perlu diingat kembali bahwa, ketika yang berlaku adalah UU PPh normal (bukan PP 46), maka besarnya angsuran bersifat tetap setiap bulannya dari Jan s/d Des 2015 nanti. Katakanlah, setelah dihitung, besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar pada Januari 2015 sebesar Rp 10 Juta (saya tidak perlu buatkan contoh kasus lagi silakan liat contoh di atas). Maka, angka angsuran Rp 10 juta tersebut dibayarkan masing-masing untuk Januari, Februari, Maret, April, dan seterusnya, hingga Desember 2015, dengan jurnal yang selalu sama setiap bulannya, yaitu:
[Debit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 10,000,000
Tidak peduli berapapun besarnya omzet dan laba setiap bulannya.
Sehingga, total PPh Pasal 25 yang dibayarkan dari Jan s/d Des 2015 otomatis Rp 10 juta x 12 = Rp 120 Juta, dan tercermin dalam saldo akun “Uang Muka PPh Badan” pada Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2015 nanti.
Pertanyaan: Bagaimana jika di pertengahan tahun Oktober 2015 total omzet diketahui tembus Rp 4,8 milyar?
Jawaban: Yang berlaku tetap UU PPh normal (bukan PP 46), artinya tetap mengangsur PPh Pasal 25 sebesar Rp 10 Juta, tanpa perlu pusing-pusing berpikir tentang PPh final 1%, hingga Desember 2015.
Pertanyaan: Lalu bagaimana perhitungan dan pengakuan PPh Badan Tahunan untuk 2015?
Jawaban: Buat Laporan Laba/Rugi normal untuk 12 bulan (Jan s/d Des 2015) hingga diketahui besarnya “Laba Sebelum Pajak.” Misalnya, diketahui:
  • Penjualan = Rp 12 Milyar
  • HPP = Rp 8 Milyar
  • BOP = Rp 2 Milyar
Maka:
Langkah-1. Hitung Laba Sebelum Pajak
  • Laba Sebelum Pajak = 12 – 8 – 2 = 2 Milyar
Langkah-2. Pisahkan porsi Laba
  • Mendapat potongan = 4,8/12 x 2 Milyar = Rp 800,000,000
  • Tidak dapat potongan = 2,000,000,000 – 800,000,000 = 1,200,000,000
Langkah-3. Hitung PPh Badan:
  • PPh Badan Pasal 31e = 50% x 25% x 800,000,000 = Rp 100,000,000
  • PPh Badan Pasal 17 = 25% x 1,200,000,000 = Rp 300,000,000
  • Total PPh Badan = Rp 400,000,000
Langkah-4. Akui “Beban PPh Badan” dan “Utang PPh Badan” dengan jurnal:
[Debit]. Beban PPh Badan = Rp 400,000,000
[Kredit]. Utang Beban PPh Badan = Rp 400,000,000
Setelah jurnal dimasukkan, maka:
  • Pada “Laporan Laba Rugi” akan muncul “Beban PPh Badan” sebesar Rp 400,000,000. Sehingga Laba Setelah Pajak menjadi: Rp 2 Milyar – Rp 0,4 Milyar = Rp 1,6 Milyar. Angka 1,6 Milyar inilah yang ditutup ke akun “Laba Ditahan” (Retained Earning).
  • Pada “Laporan Posisi Keuangan” akan muncul “Utang PPh Badan” sebesar Rp 400,000,000.
Langkah-5. Buat penyesuaian untuk menghapus “Uang Muka PPh Badan” (angsuran PPh Pasal 25 dari Jan s/d Des) dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 120,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 120,000,000 (=10 juta x 12)
Dengan masuknya jurnal tersebut maka:
  • Saldo “Uang Muka PPh Badan” menjadi = 120,000,000 – 120,000,000 = 0 (nol)
  • Saldo “Utang PPh Badan” menjadi = 400,000,000 – 120,000,000 = Rp 280,000,000
Utang PPh Badan sebesar Rp 280,000,000 itulah yang menjadi “PPh Badan Kurang Bayar” yang akan muncul pada SPT PPh Badan tahun 2015. Saat dibayar pada tanggal 25 Maret 2016 misalnya, dijurnal:
[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 280,000,000
[Debit]. Kas = Rp 280,000,000
Sehingga saldo Utang PPh Badan menjadi 0 (nol).
Pertanyaan: Bagaimana jika diakhir tahun ternyata total omzet dibawah 4,8 milyar?
Jawaban: Tetap menggunakan perhitungan PPh Normal yaitu Pasal 31e (tanpa pasal 17 karena total omzet dibawah 4,8 milyar), dengan perlakuan akuntansi yang juga sama seperti di atas. Hanya saja, mulai Januari s/d Desember 2016 berlaku PP 46 yaitu: Bayar PPh Pasal 4 (2) 1% dari omzet setiap bulan (bukan angsuran PPh Pasal 25).

Simpulan

1. Atas kebingungan terkait PPh Badan Pasca PP 46, pahami UU PPh Pasal 17 dan 31e, pahami PP 46 dan petunjuk pelaksanaannya (terutama Peraturan Menteri Keuangan No 107/PMK.011/2013 dan Serat Edaran Dirjen Pajak No. SE-42/PJ/2013).
2. Apakah kena PP 46 atau UU PPh Normal, tergantung omzet tahun pajak sebelumnya (lihat SPT tahun sebelumnya).
3. Jika omzet tahun sebelumnya tidak tembus 4,8 milyar, berarti kena PP 46 yang artinya juga bayar PPh Pasal 4 (2) dengan tarif 1 persen dari omzet per bulan (dari Januari s/d Des) selama tahun tahun pajak bersangkutan, tanpa mempedulikan fluktuasi omzet yang sedang terjadi.
4. Jika omzet tahun sebelumnya tembus 4,8 milyar, berarti kena UU PPh Normal, yang artinya juga bayar angsuran PPh Pasal 25. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh Pasal 29 tahun lalu dibagi 12 (atau dikalikan 1/12) apabila tahun sebelumnya juga kena UU PPh normal. Apabila tahun sebelumnya kena PP 46, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung dengan cara mencari laba kena pajak bulan tersebut untuk kemudian disetahunkan, dicari PPh Badan setahun untuk kemudian di bagi 12 (atau kali 1/12). Angsuran PPh Pasal 25 bersifat tetap setiap bulannya selama satu tahun pajak bersangkutan, tanpa mempedulikan fluktuasi omzet yang sedang terjadi.
5. Dari perspektif akuntansi, PPh Pasal 4 (2) yang dibayarkan tiap bulan (dalam hal kena PP 46) langsung diakui sebagai “Beban PPh Badan.” Akumulasi saldo akun “Beban PPh Badan” selama satu tahun disajikan sebagai “Beban PPh Badan” pada “Laporan Laba/Rugi” dan akan menjadi pengurang besarnya nilai “Laba Setelah Pajak” yang akan ditutup ke rekening “Laba Ditahan” (Retained Earning).
6. Dari perspektif akuntansi, angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan tiap bulan (dalam hal kena UU PPh normal) untuk sementara diakui sebagai “Uang Muka PPh Badan” yang di akhir tahun buku dihapus (write off atau washed) dengan jurnal penyesuaian yang melawankannya dengan saldo akun “Utang PPh Badan” dari hasil perhitungan PPh Pasal 31e dan PPh Pasal 17 (jika ada).
7. Dari perspektif akuntansi, setiap pemotongan dan pemungutan (potput) oleh pihak lain yang TIDAK DAPAT DIKREDITKAN langsung diakui sebagai “Beban PPh Badan” yang nantinya akan menjadi penambah “Beban PPh Badan” dari hasil perhitungan Laba/Rugi di akhir tahun. Sedangkan yang DAPAT DIKREDITKAN diakui sebagai “Utang PPh Badan” bernilai negatif (bersaldo debit) sehingga akumulasinya akan menjadi pengurang “Utang PPh Badan” dari hasil perhitungan Laba/Rugi di akhir tahun.
8. Hal-hal terkait “koreksi fiskal” (positif maupun negatif) diperlakukan seperti biasanya, tentunya dengan tetap memperhatikan kemungkinan adanya perubahan dari sisi UU Pajak yang berlaku. Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan, tetap mengikuti standar (PSAK) terkait.
Sampai di sini saya rasa sudah jelas. Atau ada yang kurang/salah?

http://www.bsc-taxconsulting.com/artikel/perlakuan-akuntansi-pajak-penghasilan-pph-setelah-pp-46

Minggu, 22 April 2018

Harga Perolehan Aktiva Tetap atau Aset Tetap Lengkap

Harga Perolehan Aktiva Tetap atau Aset Tetap Lengkap

Harga perolehan aktiva tetap | Materi aktiva lengkap pada artikel kali ini adalah pembahasan tentang perolehan aktiva tetap dilengkapi dengan contoh soal aktiva tetap.
Terdapat berebapa cara dalam memperoleh aktiva tetap, beberaoa faktor yang mempengaruhi harga perolehan aktiva tetap diantaranya:
  1. Perolehan aktiva tetap Pembelian tunai,
  2. Perolehan aktiva tetap Pembelian kredit,
  3. Perolehan aktiva tetap dengan wesel bunga,
  4. Perolehan aktiva tetap Pembelian gabungan (satu paket)
  5. Perolehan aktiva tetap dengan penerbiatan saham
  6. Perolehan aktiva tetap Membangun sendiri
  7. Perolehan aktiva tetap adanya sumbangan/hadiah dari pihak lain
  8. Perolehan aktiva tetap dengan Pertukaran

Penentuan Perolehan Aktiva Tetap


Pengertian Harga perolehan adalah semua pengeluaran yang dikorbankan untuk mendapatkan aktiva tetap dan pengeluaran lain agar aktiva siap untuk digunakan. (Haryono Jusup, 2005; 155)
Harga perolehan adalah harga beli ditambah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menyiapkan hingga aktiva tetap tersebut siap digunakan.  (Wit & Erhans, 2000; 82).
Prinsip akuntansinya adalah aktiva tetap harus dicatat sesuai dengan harga perolehannya.
Contoh Kasus
Sebuah komputer merek acer dibeli dengan harga Rp. 7.500.000 dan mendapat potongan tunai sebesar 10%. Biaya tambahan untuk install komputer dan pemasangan sehingga komputer siap digunakan sebesar Rp. 250.000. maka harga perolehan komputer tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
Harga beli7.500.000
Potongan tunai 10 %(750.000 )
6.750.000
Biaya install dan pasang250.000
Harga Perolehan7.000.000
Jurnal transaksi tersebut adalah:
Komputer7.000.000
     Kas7.000.000
Baca Juga: 
  1. Metode Penyusutan (Depresiasi) Aktiva Tetap Beserta Contoh Soal
  2. Pengertian Aset Tetap Atau Aktiva Tetap Beserta Contohnya
  3. Penghentian Aktiva Tetap Beserta Contoh Soal Dan Jurnalnya

1. Perolehan Aktiva Tetap Pembelian Tunai

Dalam pembelian secara tunai, harga perolehan adalah harga beli bersih setelah dikurangi potongan tunai ditambah pengeluaran-pengelauaran.
Contoh Kasus
Dibeli mesin pabrik seharga Rp. 55.000.000, biaya tambahan yang terkait meliputi, PPN sebesar Rp. 5.500.000, Premi asuransi sebesar Rp. 550.000 dan biaya pemasangan mesin sebesar Rp. 1.450.000. maka harga perolehannya dapat dihitung :
Harga beli55.000.000
PPN5.500.000
Premi asuransi550.000
Biaya pemasangan1.450.000
Harga perolehan62.500.000
Jurnal untuk mencatat transaksi ini adalah
Mesin pabrik62.500.000
Kas62.500.000

2. Perolehan Aktiva Tetap Pembelian Kredit

Pembelian secara kredit jangka panjang umumnya melibatkan bunga kredit, bunga dapat ditetapkan secara eksplisit dan implisit.
Bunga eksplisit adalah bunga yang ditetapkan secara jelas atau terus terang dalam pembelian kredit.
Bunga implisit adalah bunga yang belum ditetapkan atau tidak ditetapkan secara terus terang sehingga harus mencari dulu berapa besar bunganya.
Baik menggunakan bunga secara eksplisit maupun implisit, bunga tidak boleh dimasukkan ke dalam menghitung harga perolehan, mengapa ? karena bunga bukan merupakan pengorbanan untuk medapatkan aktiva tetap, tetapi pengorbanan untuk menggunakan dana pihak lain.

3. Perolehan Aset Tetap Menggunakan Wesel Bunga

Pembelian aktiva tetap dengan jumlah rupiah yang besar biasanya akan dibayar perusahaan dengan menggunakan wesel berbunga. Pembeli biasanya diwajibkan membayar uang muka dan sisanya dibayar dengan wesel berbunga, dan pembayaran bunga dibayar pada saat jatuh tempo wesel tersebut.
Harga perolehan aktiva dapat dihitung dengan jumlah uang muka ditambah nilai nominal wesel. Biaya bunga merupakan biaya pendanaan (financing cost) yang dicatat dengan mendebet rekening biaya bunga.
Contoh Kasus
PT Asio membeli peralatan pabrik seharga Rp. 120.000.000 secara tunai. Uang muka yang diberikan sebesar Rp. 20.000.000 dan sisanya dibayar dengan wesel berbunga jangka waktu setahun bunga 10%. Jurnal untuk mencatat transaksi ini adalah:
Peralatan pabrik120.000.000
       Kas20.000.000
      Utang wesel100.000.000
(untuk mencatat uang muka dan penarikan utang wesel)
Dan pada saat jatuh tempo wesel, dibayarkan nilai nominal setelah ditambah dengan bunga sebesar 10.000.000 ( 100.000.000 x 10%) dan dicatat dalam jurnalnya:
Utang wesel100.000.000
Biaya bunga10.000.000
Kas110.000.000

4. Pembelian Dalam Satu Paket/Gabungan/ Lump-Sum

Pembelian dalam satu paket (gabungan) sering disebut juga sebagai lump-sum. Harga paket gabungan didasarkan pada harga perolehan masing-masing aktiva tetap yang ditentukan dengan harga pasar.
Contoh Kasus
Pada tanggal 1 Januari, PT Lisa membeli tanah, gedung dan peralatan dengan harga total sebesar Rp. 100.000.000. harga pasar masing-masing untuk tanah sebesar Rp. 45.000.000, untuk gedung seharga Rp. 75.000.000 dan untuk peralatan seharga Rp. 30.000.000.:
GolonganHarga Pasar% dari HP & PerhitunganAlokasi
Tanah45.000.00030 % x 100.000.00030.000.000
Gedung75.000.00050 % x 100.000.00050.000.000
Peralatan30.000.00020 % x 100.000.00020.000.000
 150.000.000100 %100.000.000
Jurnal untuk mencatat pembelian aktiva tetap secara gabungan sebagai berikut:
Tanah gedung dan perlatan100.000.000
     Kas100.000.000
Jurnal untuk mencatat alokasi harga perolehan dari masing-masing aktiva adalah
Tanah30.000.000
Gedung50.000.000
Peralatan20.000.000
     Kas100.000.000

5. Perolehan Aktiva Tetap Membangun Sendiri

Perusahaan terkadang membangun sendiri aktiva tetap/asset tetapnya, maka terdapat dua situasi dalam penentuan harga pokok asset diantaranya?
  1. Asset tetap yang dibangun sendiri dengan dana yang berasal dari dalam perusahaan.
Asset yang dibangun sendiri adalah bangunan yang timbul karena tidak harga pembelian ataupun harga kontrak pembangunan. Maka perusahaan harus mengalikasikan seluruh biaya yang dikeluarkan meliputi biaya (bahan, tenaga kerja dan oberhead) yang berkaitan dengan pembangunan tersebut. Biaya overhead biasanya seperti listrik, asuransi, peraltan pabrik dan pengawas pabrik. Cara yang boleh dipilih dalam mengalokasikan biaya overhead pabrik diantaranya:
  1. Tidak mengalikasikan overhead pada biaya pembangunan
  2. Mengalokasikan atas dasar produksi yang hilang
  3. Mengalokasikan sebagian overhead pada biaya pembangunan
  4. Asset tetap yang dibangun dengan dana dari pinjaman.
Untuk situasi ini, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu perlakuan biaya pinjaman selama pembangunan. Perhitungan biaya pinjaman saat pembangunan dalam mengakuisisi asset tetap boleh menggunakan beberapa cara alternative seperti:
  1. Tidak mengkapitalisasi biaya pinjaman selama pembangunan.
  2. Membebankan pembangunan dengan semua biaya dana yang digunakan , baik yang bisa diidentifikasi maupun yang tidak.
  3. Mengkapitalisasi hanya biaya pinjaman sebenarnya terjadi hanya selama pembangunan.

6. Perolehan Aktiva Tetap Dengan Menerbitkan Saham

Asset yang diperoleh dengan menerbitkan saham dapat dinai atas dasar nilai tetapan saham tersebut. Nilai pasar dari saham yang diterbitkan adalah petunjuk yang layak atas harga pokok dari harta yang diakuisisi, mengapa ? karena saham itu merupakan ukuran yang baik dari harga ekuivalen kas masa berjalan.
Contoh Kasus
Pada tanggal 1 mei,  PT Abadi mengeluarkan saham sebanyak 5.000 lembar, nilai pari @10.000 untuk membeli tanah yang mempunyai harga pasar wajar saham @8.000. maka perhitungan dapat dilakukan sebagai berikut:
Nilai nominal saham(5000 x Rp. 10.000,-)= Rp. 50.000.000,-
Harga pasar wajar(5000 x Rp. 8.000,-)=( ” 40.000.000,-)
Selisih lebih nilai nominal diatas harga
Pasar wajar (Disagio)Rp.10.000.000,00
Jurnal untuk mencatat transaksi diatas adalah
Tanah40.000.000
Disago saham10.000.000
   Saham biasa 50.000.000

7. Pertukaran Asset Tetap Yang Serupa

Pertukaran asset tetap harus didasarkan pada nilai wajar dari asset yang diserahkan atau nilai wajar dari asset yang diterima dengan memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang diakui.
Ada tiga situasi yang berkaitan dengan pertukaran asset yang sejenis, seperti:
  1. Akuntansi pertukaran asset yang sejenis dengan tombokan
Pertukaran ini dicatat keuntungan dan kerugian yang diakui pada nilai wajar asset yang diserahkan. Nilai wajar dari harta yang diterima harus digunakan hanya jika lebih jelas daripada nilai wajar harta yang diserahkan.
Contoh Kasus
PT Mega menukarkan beberapa truk dengan nilai buku Rp. 420.000.000. pada saat ini truk tersebut mempunyai harga pokok Rp. 640.000.000 dan akumulasi penyusutan sebesar Rp. 220.000.000. harga pasar wajar truk tersebut Rp. 490.000.000. untuk pertukaran ini, PT. Mega megneluarkan uang kas sebagai tombok sebesar Rp. 170.000.000. harga pasar wajar truk baru sebesar Rp. 660.000.000.:
Perhitungan yang  dapat dilakukan adalah:
Perhitungan harga tanah
Nilai wajar truk-truk yang ditukarRp. 490.000.000,-
Kas yang dibayarkanRp. 170.000.000,-
Harga pasar wajar trukRp. 660.000.000,-
Perhitungan keuntungan
Harga pasar wajar dari trukRp. 490.000.000,-
Nilai buku dari truk(Rp. 420.000.000,-)
Keuntungan dari pelepasan trukRp. 70.000.000,-
Jurnal untuk transaksi ini adalah:

Truk baru660.000.000
Akm peny. truk220.000.000
     Truk640.000.000
     Keuntungan pelep. truk70.000.000
     Kas170.000.000

a. Akuntansi pertukaran untuk asset yang serupa (situasi kerugian)

Harus segera di akui bila pertukaran asset menimbulkan kerugian/
Contoh Kasus
PT. Esa mendapatkan mesin baru seharga Rp. 160.000.000,- dengan cara menukar mesin lama yang dimiilki PT. Jaka Purnama. Mesin lama terhitung mempunyai nilai buku Rp. 80.000.000 dengan harga pokok Rp. 120.000.000, akumulasi penyusutan sebesar Rp. 40.000.000. harga pasar wajar mesin lama Rp. 60.000.000 dan tombokan penukaran disetujui sebesar Rp. 90.000.000.:
Perhitungannya adalah
Harga pokok mesin baru
Harga katalog mesin baruRp. 160.000.000
Tombokan untuk mesin lama(Rp. 90.000.000)
Kas yang harus dibayarkan Rp. 70.000.000
Harga pasar wajar mesin lamaRp. 60.000.000
Harga pokok mesin baruRp.130,000.000
Perhitungan kerugian pelepasan mesin lama
Perhitungan kerugian
Harga pasar wajar dari mesinRp. 60.000.000,-
Nilai buku dari mesin lamaRp. 80.000.000
Kerugian pelepasan mesinRp. 20.000.000
Jurnal yang dibuat adalah :
Mesin Baru130.000.000
Ak. Peny. Mesin40.000.000
Kerugian Pelep. Mesin20.000.000
      Peralatan120.000.000
        Kas70.000.000

b. Akuntansi pertukaran untuk asset yang serupa (situasi keuntungan tetapi taka da kas yang diterima)

Pertukaran asset yang menimbulkan keuntungan biasanya lebih rumit, karena jika pertukaran ini belum menyelesaikan proses pencarian laba maka setiap keuntungan harus ditangguhkan.
Contoh Kasus
PT. Abadi menukar mobil lama dengan nilai buku Rp. 135.000.000 dari harga pokok sebesar Rp. 150.000.000. akumulasi penyusutan Rp. 15.000.000 dan harga pasar wajar mobil lama sebesar Rp. 160.000.000 dan harus membayar uang kas sebesar Rp. 10.000.000 yang ditukar dengan mobil baru dengan harga pasar wajar Rp. 170.000.000.:
Perhitungannya sebagai berkut:
Perhitungan keuntungan
Harga pasar wajar mobil lamaRp. 160.000.000
Nilai buku mobil lama(Rp. 135.000.000)
Total keuntungan yang tidak diakuiRp. 25.000.000
Perhitungan lain dapat dilakukan
Nilai buku mobil baru PT. Abadi
Harga pasar wajar mobil baruRp. 170.000.000
Keuntungan yang ditangguhkan(Rp. 25.000.000)
Dasar nilai yang dihitungRp. 145.000.000
Atau dapat dilakukan dengan cara berikut:
Nilai buku dari mobil lamaRp. 135.000.000
Kas yang dibayarkanRp. 10.000.000
Dasar nilai yang dihitungRp. 145.000.000
Jurnalnya adalah
Mobil Baru45.000.000
Ak. Peny. Mobil Lama15.000.000
      Mobil Lama150.000.000
      Kas10.000.000

c. Pertukaran asset tetap yang tidak serupa

Pertukaran asset ini dihitung dari harga pasar wajar asset yang dipertukarkan mana yang lebih jelas.
Contoh Kasus
PT. Cendikia melakukan transaksi pertukaran tanah seluas 1.000 meter persegi dengan mobil seharga Rp 200.000.000. pertukaran ini mengakibatkan PT. Cendekia menerima kas sebanyak Rp. 20.000.000.:
Jurnal yang dibuat adalah

Mobil200.000.000
Kas20.000.000
    Tanah220.000.000

8. Akuisisi Dan Disposisi Dari Donasi Atau Hadiah

Pertukaran asset yang berasal dari donasi disebut juga transfer tanpa timbal balik (karena transfer satu arah). Perlakuan ini dihitung dari nilai buku asset yang akan dicatat dalam buku.
Contoh Kasus
PT. Kartika menerima sebidang tanah dari donasi, harga pasar wajar dari tanah seharga Rp. 150.000.000 kemudian digunakan untuk pembangunan fasilitas umum.:
Jurnalnya adalah;
Tanah150.000.000
   Modal Donasi150.000.000
Contoh Kasus
PT. Wijaya menghibahkan tanah seharga Rp. 80.000.000, namun tanah tersebut mempunyai harga pasar wajar Rp. 110.000.000.:
Jurnal transaksi tersebut adalah:
Harta Donasi110.000.000
     Tanah80.000.000
     Keuntungan30.000.000
Demikianlah pembahasan Harga Perolehan Aktiva Tetap atau Aset Tetap Lengkap. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jangan lupa share artikel ini untuk menebar manfaat. Sekian dan Terimakasiih.

Sumber: http://www.akuntansilengkap.com/uncategorized/harga-perolehan-aktiva-tetap-atau-aset-tetap/