Menu DropDown

Selasa, 21 Oktober 2014

Penghtiungan PP46 Tahun 2013

Cara Menghitung SPT Tahunan PPh Badan 2013
Ilustrasi:
PT. Anti Amsyong menjual komputer dan ATK. Diketahui Laba bersih sebelum pajak 2013 sebesar Rp.480.000.000. Dan laba bersih 6 bulan (jan-jun) adalah Rp.200.000.000. Peredaran usaha/bruto 2013 sebesar Rp.5.000.000.000. Perusahaan ini juga membayar angsuran PPh 25 selama jan-jun dengan nilai 2.000.000/bulan. Maka hitung pajak di SPT Tahunan PPh Badan 2013 dengan asumsi PT. Anti Amsyong wajib PP 46?
Jawaban:
Saya anjurkan dibuat laba rugi semester 1 & 2 sebagai bantuan untuk menghitung pajak tahunan namun tidak wajib dilampirkan
Laba 6 bulan pertama Rp.200.000.000
Pajak badan Terutang 2013 ada 2 macam pengenaan yaitu yang mendapat fasilitas 50% tarif lebih rendah dan yang kena tarif badan penuh. Kenapa begitu? karena omset yang melebihi 4.8M
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
  1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
    (Rp4.800.000.000 : Rp5.000.000.000) x Rp200.000.000 = Rp192.000.000
  2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
    Rp200.000.000 – Rp192.000.000 = Rp8.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
-(50% x 25%) x Rp192.000.000= Rp  24.000.000
-25% x Rp.8.000.000= Rp    6.00.000(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang   Rp    26.000.000
Angsuran PPh 25 Badan jan-jun totalnya 12.000.000 (2jt*6bln)
Pajak yang masih harus dibayar 26.000.000-12.000.000= Rp.14.000.000

Senin, 18 Agustus 2014

Apa Bedanya Jurnal Penyesuaian dengan Pembetulan?


Salah satu pertanyaan paling klasik di Akuntansi Keuangan adalah “apa bedanya jurnal penyesuaian dengan pembetulan?” Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar.
Dengan logika umum, yang namanya “disesuaikan” dengan “dibetulkan/dikoreksi” memang mirip-mirip. Ahli bahasa mungkin menyebut kata “disesuaikan” sebagai bentuk eufimisme atau penghalusan dari istilah “koreksi”. Inilah yang sering membuat masyarakat umum menjadi bingung ketika mencoba memahami akuntansi.
Masyarakat umum bingung, mungkin tidak apa-apa, toh mereka tidak bekerja di bidang akuntansi. Namun menjadi repot ketika kebingungan yang sama terjadi pada mereka yang bekerja di bidang akuntansi. Kebingungan yang sama lumrah terjadi pada pelajar/mahasiswa jurusan Akuntansi—terutama di tahun-tahun pertama belajar.
Agar terbebas dari kebingungan ini, hal pertama yang perlu disadari adalah: Akuntansi menggunakan istilah teknis tersendiri yang berbeda dengan istilah umum.
“Penyesuaian” dan “Pembetulan/Koreksi”, dalam akuntansi, adalah dua hal yang samasekali berbeda, tidak bisa dicampuradukkan. Dan memahami perbedaannya, sangat mendasar bagi siapapun yang ingin menguasai akuntansi.
Bisa dibilang, mampu atau tidaknya menjawab pertanyaan ini dengan baik, mencerminkan:
  • apakah seseorang sudah paham prosedur debit-credit (double-entry) atau belum; dan
  • apakah sudah menguasai teknik dasar menjurnal atau belum.
Sebab, mustahil bisa membuat jurnal pembetulan dan penyesuaian jika belum paham prosedur debit-credit dan menjurnal. (CATATAN: Yang belum paham teknik dasar menjurnal dan prosedur debit-credit silahkan baca “Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi”)
Lebih jauh lagi, mampu tidaknya seseorang menjawab pertanyaan yang sama juga mencerminkan apakah dia paham konsep dasar akrual dan deferal atau belum.
Okay. Lalu, apa beda jurnal penyesuaian dengan pembetulan?” mungkin ada yang sudah tak sabar.
Kalau saya jawab “Jurnal penyesuaian untuk menyesuaikan saldo akun agar mewakili kondisi sebenarnya dan Jurnal pembetulan untuk memperbaiki kesalahan jurnal,” apakah cukup?
Jika memang cukup, berarti itulah jawabannya. Jika belum cukup, maka perlu membahas jurnal pembetulan dan jurnal penyesuaian terlebih dahulu. Silahkan lanjutkan membaca.

Jurnal Pembetulan (Correction Entry)
Jurnal pembetulan adalah jurnal yang dipergunakan untuk membetulkan jurnal yang terlanjur salah dibuat—entah itu salah angka atau salah akun.
Untuk melakukan koreksi (pembetulan), mengapa perlu membuat jurnal?” Mungkin ada yang berpikir demikian. Jawabannya, karena asumsinya:
  • Pertama, pencatatan transaksi dilakukan secara manual (di atas kertas/buku jurnal).
  • Kedua, pencoteran atau type-x ditabukan dalam akuntansi. Ditabukan karena disamping terlihat tidak rapih juga menimbulkan keragu-raguan.
Misalnya: Pada tanggal 10 Januari 2014 Annie menerima slip tunai pembayaran upah buruh. Untuk itu Annie membuat jurnal sbb:
[Debit]. Upah Buruh = Rp 27,070,000,-
[Kredit]. Kas = Rp 27,070,000,-
Pagi-pagi, keeskokan harinya, tiba di kantor Annie sudah menemukan memo kecil dari Chief Accountant tertempel di atas mejanya dengan pesan, “Annie, kamu salah masukkan jurnal untuk pembayaran upah buruh, tolong buat koreksi.”

Selesai membaca “surat cinta” itu, Annie mencari slip pembayaran upah buruh yang dimaksud dan membandingkannya dengan jurnal yang dimasukkan ke buku. Pada slip pembayaran Annie menemukan angka 27,700,000. Namun pada jurnal yang Annie masukkan angkanya Rp 27,070,000. Jadi ada KESALAHAN ANGKA, sehingga terjadi selisih Rp 630,000 (=27,700,000 – 27,070,000).
Atas kesalahan tersebut, Annie tidak mencoret atau men-typeX jurnal yang salah, karena hal itu ditabukan dalam Akuntansi. Sebagai gantinya, Annie memasukkan JURNAL PEMBETULAN (correction entry), sbb:
[Debit]. Upah Buruh = Rp 630,000,-
[Kredit]. Kas = Rp 630,000,-
Setelah jurnal pembetulan di masukkan maka total upah buruh yang diakui menjadi benar, yakni Rp 27,070,000 + Rp 630,000 = Rp 27,700,000, sesuai dengan angka yang tertera pada slip pembayaran upah buruh.
Begitu selesai memasukkan jurnal koreksi, Chief Accountant sudah ada di meja Annie. Dan mengatakan bahwa Annie juga salah memasukkan Pendapatan Bunga Jasa Giro dari bank. Oleh Annie, pendapatan bunga dari bank dimasukkan ke akun Pendapatan dengan jurnal:
[Debit]. Kas = Rp 750,000
[Kredit]. Pendapatan = Rp 750,000
Seharusnya, pendapatan bunga dari bank dipisahkan dari pendapatan utama (hasil penjualan) dan dimasukkan ke akun “Pendapatan Jasa Giro.” Artinya, telah terjadi kesalahan akun. Untuk itu Annie harus membuat JURNAL PEMBETULAN sbb:
[Debit]. Pendapatan = Rp 750,000
[Kredit]. Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 750,000

CATATAN KHUSUS: Pendapatan bunga pada rekening giro perusahaan di bank TIDAK DIGABUNG dengan Pendapatan utama dari hasil penjualan. Sebab pendapatan ini sudah dikenakan “pajak bersifat final” oleh pihak bank, sehingga tidak dikenakan pajak lagi pada PPh perusahaan. Oleh sebab itu harus dipisahkan. Untuk pendapatan ini, biasanya perusahaan membuat akun khusus yang disebut “Pendapatan Bunga Jasa Giro.”
Kesalahan akun juga disebut “salah klasifikasi akun,” oleh sebab itu jurnal pembetulan atas kesalahan akun sering disebut “jurnal reklasifikasi” (reclassification entry). Di tempat kerja, jika atasan mengatakan “tolong reclass” artinya anda diminta untuk membuat jurnal pembetulan atas kesalahan akun.
Pada jurnal reklasifikasi di atas, mengapa akun KAS tidak ikut di reklasifikasi?” mungkin ada yang berpikir seperti itu.

Jawabannya: Sebab, yang salah klasifikasi hanya akun pendapatan saja, sedangkan akun kasnya sudah benar, sehingga tak perlu direklasifikasi lagi. Ini versi saat kita belajar di sekolah atau kampus. Dalam pekerjaan sesungguhnya, terutama jika menggunakan software akuntansi, prosedurnya sedikit berbeda (baca “Membuat Jurnal Pembetulan Dengan Software Akuntansi” setelah yang di bawah ini)
Bagaimana jika kesalahan diketahui setelah tutup buku (saldo pendapatan dan beban telah di nol-kan)? Bagaimana membuat jurnalnya? Pertama, pertimbangkan, apakah perlu dibuatkan jurnal pembetulan atau tidak. Dasar pertimbangannya: Apakah bisa terkoreksi dengan sendirinya (self-corrected) atau tidak. Jika bisa terkoreksi dengan sendirinya maka tak perlu dibuatkan jurnal koreksi. Jika sebaliknya maka jurnal koreksi diperlukan. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca “Salah Jurnal, Apakah Perlu Koreksi?

[intense_content_box icon="info-sign" icon_color="#ff5959" size="4" icon_stack_type="circle" icon_stack_color="#cbdbad" position="topleft" boxed="1" shadow="0" background="#cbdbad" border_size="1" border_color="#b0db60" border_style="dashed" animation="bounce"]
Membuat Jurnal Pembetulan Dengan Software Akuntansi
Terutama adik-adik pelajar dan mahasiswa, perlu menyadari bahwa contoh-contoh kasus jurnal pembetulan yang disajikan di sekolah/kampus—entah atas kesalahan angka atau kesalahan akun—selalu menggunakan asumsi: PROSES PENCATATAN TRANSAKSI DILAKUKAN SECARA MANUAL (di atas kertas buku jurnal). Contoh kasus di atas pun, juga, menggunakan asumsi bahwa Annie melakukan pekerjaannya di atas kertas (buku jurnal).

Pada kenyataannya, di era komputer sekarang ini, sudah hampir semua perusahaan menggunakan software akuntansi. Sehingga, staf accounting pemula (fresh graduate) di perusahaan sering bingung ketika berhadapan dengan pekerjaan yang sesungguhnya.
Dengan software akuntansi (termasuk Excel), staf accounting bisa memperbaiki kesalahan dengan cara melakukan editing (perbaikan) langsung pada jurnal yang salah saja, atau dengan cara menghapus transaksi yang salah untuk kemudian diganti dengan jurnal yang benar. Sehingga, TIDAK PERLU memasukkan jurnal pembetulan/koreksi lagi.
Pada kasus Annie yang pertama (salah angka transaksi) di atas misalnya, dia bisa langsung mencari jurnal yang salah, lalu mengganti angka yang salah (27,070,000) dengan angka yang benar (27,700,000). Sedangkan pada kasus kedua, Annie bisa menghapus jurnal yang salah (pada akun Pendapatan) dan membuat jurnal baru pada akun yang benar (Pendapatan Jasa Giro) dengan tanggal yang dimajukan agar sesuai dengan transaksi aslinya.
Namun hal itu tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing yang bisa jadi berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Perbedaan kebijakan terletak pada penentuan saat kapan system (software) dikunci (locked).
Pada umumnya, perusahaan melakukan penguncian system untuk membatasi tindakan mengubah data tanpa seijin yang punya otorisasi. Begitu system dikunci, staf accounting tidak bisa lagi:
1. melakukan editing langsung pada jurnal;
2. menghapus catatan transaksi (jurnal); atau
3. termasuk mengubah tanggal.

Sekedar informasi. Perusahaan-perusahaan yang saya kendalikan, melakukan penguncian system setiap hari, yakni setelah pukul 6 sore. Tujuannya? Membuat staf accounting terbiasa untuk selalu fokus dan berhati-hati dalam bekerja. Pendekatan yang sama juga—secara sistemik—memaksa semua Chief Accountant untuk selalu melakukan ledger detail review setiap hari dan harus kelar sebelum pukul 6 sore.
Jika ditemukan kesalahan pada transaksi yang telah lewat, setelah system dikunci, staf accounting harus memasukkan JURNAL PEMBETULAN/KOREKSI lewat modul khusus yang biasanya bisa dibuka oleh orang yang punya otoritas (Chief Accountant dan Controller). Yang artinya juga, jurnal koreksi hanya boleh dilakukan dengan seijin (approval) orang yang berwenang. Tujuannya? Jelas untuk pengendalian intern—atasan menjadi selalu tahu setiap ada kesalahan.

Membuat jurnal koreksi dengan menggunakan software akuntansi juga agak berbeda jika dibandingkan manual. Untuk contoh kasus kedua misalnya, Annie tidak bisa membuat jurnal dengan cara melawankan Akun pendapatan dengan akun pendapatan lainnya (karena sama-sama bersaldo kredit). Akun Pendapatan hanya bisa dilawankan dengan akun Piutang atau Kas (dan akun Biaya hanya bisa dilawankan dengan akun Utang atau Kas).
Untuk melakukan reklasifikasi, bila bekerja menggunakan software, Annie harus membuat jurnal pembalik (reversal entry) terlebih dahulu, sbb:
[Debit]. Pendapatan = 750,000
[Kredit]. Kas = 750,000
Dengan jurnal pembalik di atas maka posisi saldo masing-masing akun kembali ke posisi semula. Setelah itu baru membuat jurnal dengan akun yang benar, yakni:
[Debit]. Kas = Rp 750,000
[Kredit]. Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 750,000
Itulah sedikit perbedaan antara membuat jurnal pembetulan dalam lingkungan manual dan terkomputerisasi—sekedar untuk diketahui saja, khususnya untuk adik-adik pelajar dan mahasiswa.
[/intense_content_box]

Jurnal Penyesuaian (Adjustment Entry)
Jurnal Penyesuaian (Adjustment Entry) adalah jurnal yang dibuat untuk menyesuaikan nilai saldo akun-akun tertentu agar sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Bagaimana caranya membuat jurnal penyesuaian? Tergantung saldo akun mana yang akan disesuaikan. Akun yang saldonya perlu disesuaikan biasanya akun yang timbul akibat adanya pengakuan biaya yang disegerakan (=diakrualkan) atau ditunda (=dideferalkan). Beberapa contoh akun yang biasanya memerlukan jurnal penyesuaian, antara lain:

1. Deposit Supplier dan Biaya Dibayar Di Muka (Prepaid)
Prinsip Kesesuaian (Matching Principle) menganjurkan agar setiap “Beban/Biaya” dan “Pendapatan” saling bersesuaian (matched). Konkretnya, dalam konteks ini, beban/Biaya yang timbul di suatu periode hanya diakui sejumlah yang bisa dihubungkan dengan pendapatan yang bisa dihasilkan pada periode yang sama.
Untuk memenuhi prinsip ini maka, beban/biaya yang kemanfaatannya diperkirakan lebih dari satu periode TIDAK diakui secara sekaligus pada saat timbul, melainkan dialokasikan dan diakui secara bertahap sesuai dengan manfaat yang ditimbulkan per periodenya.

CONTOH KASUS:
Untuk rencana penjualan Januari 2014, PT. JAK memesan barang di UD Makmur senilai Rp 100,000,000 pada tanggal 20 Desember 2013. Barang rencananya akan diterima secara bertahap mulai tanggal 5 hingga 10 Januri 2014. Untuk pemesanan itu, tanggal 22 Desember 2013 PT JAK membayar UD makmur sebesar nilai pesanan.
Atas pengaluaran tersebut PT JAK tidak mencatatnya sebagai persediaan. Sebagai gantinya PT. JAK memasukkan jurnal sbb:
[Debit] Deposit Supplier = Rp 100,000,000 (masuk ke Neraca)
[Kredit]. Kas = Rp 100,000,000 (mengurangi saldo Kas di Neraca)
Nah, akun “Deposit Supplier” inilah yang harus disesuaikan dengan kondisi sebenarnya, yakni setiap kali barang persediaan diterima. Misalnya, ketika barang tahap pertama diterima senilai Rp 40 juta pada tanggal 5 Januari 2014, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN sebagai berikut:
[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 40,000,000 (saldo persediaan di Neraca bertambah 40 juta)
[Kredit]. Deposit Supplier = Rp 40,000,000 (saldo Desposit Supplier di Neraca berkurang 40 juta)
Ketika barang tahap 2 diterima senilai Rp 60 jutaTanggal 8 Januari 2014, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN lagi sbb:
[Debit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 60,000,000 (total saldo persediaan menjadi 40+60 juta)
[Kredit]. Deposit Supplier = Rp 60,000,000 (sisa saldo Desposit Supplier di Neraca nol)
(Catatan: Deposit Supplier di atas bisa juga disebut “Persediaan Dibayar Dimuka”, esensinya sama saja)
Pengakuan bertahap juga diterapkan pada transaksi Sewa yang manfaatnya lebih dari satu periode.

CONTOH KASUS:
Untuk mengantisipasi pemadaman listrik yang kerap terjadi, tanggal 15 Desember 2013 PT JAK menyewa mesin Genset senilai Rp 75 juta untuk penggunaan hingga 15 Maret 2014.
Saat Sewa dibayar, PT JAK tidak membebankan biaya sewa seketika di bulan Desember 2013. Sebagai gantinya, PT JAK mencatat dengan jurnal sbb:
[Debit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 75,000,000 (masuk Neraca)
[Kredit]. Kas = Rp 75,000,000 (mengurangi saldo Kas di neraca)
Nah, saldo “Sewa Dibayar Di Muka” inilah yang terus disesuaikan setiap periodenya berdasarkan penggunaannya sehingga mencerminkan kondisi sebenarnya. Jelang tutup buku 31 Desember 2013 misalnya, PT JAK membuat JURNAL PENYESUAIAN sebagai berikut:
[Debit]. Biaya Sewa = Rp 12,500,000 (dibiayakan dan mengurangi Laba Des 2013)
[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 12,500,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)
(Catatan: Rp 12,500,000 adalah porsi biaya sewa untuk Desember 2013 (=75 juta:3)/2)
Pada tanggal 31 Januari 2014 nanti, PT JAK akan membuat penyesuaian saldo Sewa Dibayar Di Muka lagi, sbb:
[Debit]. Biaya Sewa = Rp 25,000,000 (mengurangi Laba Januari 2014)
[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 25,000,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)
(Catatan: Rp 25,000,000 (=75 juta:3) adalah porsi biaya sewa untuk Januari 2014.)
Pada tanggal 28 Februari 2014 nanti, PT JAK akan membuat penyesuaian saldo Sewa Dibayar Di Muka lagi, sbb:
[Debit]. Biaya Sewa = Rp 25,000,000 (mengurangi Laba Februari 2014)
[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 25,000,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)
(Catatan: Rp 25,000,000 (=75 juta:3) adalah porsi biaya sewa untuk Februari 2014).
Pada saat ini saldo Sewa Dibayar Di Muka akan menunjukkan angka Rp 12,500,000 (=75 juta – 12,500,000 – 25,000,000 – 25,000,000). Sehingga, pada tanggal 31 Maret 2014 PT JAK akan memasukkan jurnal penyesuaian terakhir untuk saldo Sewa Dibayar Di Muka, sbb:
[Debit]. Biaya Sewa = Rp 12,500,000 (mengurangi Laba Maret 2014)
[Kredit]. Sewa Dibayar Di Muka = Rp 12,500,000 (mengurangi saldo Sewa Dibayar Dimuka di Neraca)
(Catatan: Rp 12,500,000 ((=75 juta:3)/2) adalah porsi biaya sewa untuk Maret 2014).
Setelah jurnal penyesuaian ini dimaksukkan maka saldo Sewa Dibayar Dimuka akan menunjukkan angka 0 (nol) alias habis.

Catatan: Tidak hanya “Deposit Supplier” dan “Sewa Dibayar Di Muka” saja, pada adasarnya setiap biaya yang memiliki kemanfaataan lebih dari 1 periode diperlakukan seperti di atas, sehingga membutuhkan jurnal penyesuaian di setiap akhir periodenya.
2. Akumulasi Penyusutan/Amortisasi
Saldo akun “Akumulasi Penyusutan” (kontra akun Aset Tetap) dan “Akumulasi Amortisasi” (kontra akun Aset Tak berwujud) juga memerlukan penyesuaian di akhir periode. Sebab saldo kedua akun ini meningkat seiring dengan semakin berkurangnya nilai manfaat atau nilai buku Aset.

CONTOH KASUS:
Tanggal 1 Januari 2013 PT. JAK membeli Aset berupa mesin produksi senilai Rp 25,000,000 secara tunai dan langsung dioperasikan. Umur Ekonomis mesin di perkirakan mencapai 8 tahun. Atas mesin ini, PT JAK tidak mencadangkan nilai residu. Untuk menyusutan nilai Aset, PT JAK menggunakan Metode Garis Lurus. Penutupan Buku PT JAK dilakukan secara tahunan, yakni setiap tanggal 31 Desember.
Untuk mengakui aset Mesin Produksi, tangal 1 Januari 2013 PT JAK membuat jurnal sbb:
[Debit]. Mesin = Rp 25,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 25,000,000
Atas penggunaan mesin tersebut PT. JAK menghitung penyusutan per tahun sbb:
Tarif Penyusutan Per Tahun = (1/Umur Ekonomis) x 100% = (1/8) x 100% = (100/8)% =12, 5% per tahun.
Penyusutan Per Tahun = (Nilai Perolehan-Nilai Residu) x Tarif = 25,000,000 x 12,5% = Rp 3,125,000/tahun.
sehingga jadwal penyusutan mesin menjadi sbb:





Pada jadwal penyusutan di atas terlihat bawa, akumulasi penyusutan—yang mengurangi nilai buku atau nilai manfaat—terus meningkat seiring dengan lamanya penggunaan mesin. Oleh sebab itu, PT JAK perlu melakukan PENYESUAIAN saldo “Akumulasi Penyusutan” setiap akhir periode buku (seperti nampak dalam jadwal di atas) yang dimulai tanggal 31 Desember 2013.
Sehingga, pada tanggal 31 Desember 2013 PT JAK mengakui “Beban Penyusutan Mesin Produksi” di satu sisinya (Laba/Rugi) dan Akumulasi Penyusutan Mesin di sisi lainnya, dengan jurnal sbb:
[Debit]. Beban Penyusutan Mesin Produksi = Rp 3,125,000 (masuk L/R)
[Kredit]. Akumulasi Penyusutan Mesin produksi = Rp 3,125,000 (Masuk Neraca)
Sejak saat itu, PT JAK terus membuat JURNAL PENYESUAIAN atas saldo akun “Akumulasi Penyusutan Mesin Produksi “ setiap tanggal 31 Desember, hingga saldonya sama dengan “Nilai Perolehan Mesin” (Rp 25 Juta) dan Nilai Buku (=Nilai Perolehan Mesin – Akumulasi Penyusutan) sama dengan nol alias habis, yang menurut jadwal akan terjadi pada tanggal 31 Desember 2019.
Jurnal penyesuaian juga diperlukan untuk saldo akun aset tetap lainnya dan semua saldo akun “Akumulasi Amortisasi” aset tak berwujud, dengan cara yang sama.

3. Deposit Pelanggan dan Pendapatan Diterima Di Muka
Pendapatan yang diterima di suatu periode, oleh perusahaan hanya boleh diakui sejumlah yang bisa dihubungkan dengan beban/biaya yang timbul di periode yang sama. Sedangkan selisihnya diakui entah sebagai “Deposit Pelanggan” atau “Pendapatan Diterima Di Muka”. Saldo akun inilah yang disesuaikan setiap akhir periodenya.
CONTOH KASUS:
Pada tanggal 25 November 2013 PT JAK menerima pesanan dari True Company Inc sebesar Rp 750 Juta. Karena keterbatasan kapasitas produksi, maka pengiriman barang disepakati secara bertahap, dengan jadwal sbb:
  • Tanggal 25 Januari 2014, senilai Rp 250 Juta;
  • Tanggal 25 Februari 2014, senilai Rp 250 Juta; dan
  • Tanggal 25 Maret 2014, senilai Rp 250 Juta.
Dari transaksi tersebut, pada tanggal 1 Desember 2013 PT JAK menerima pembayaran penuh sebesar Rp 750 Juta. Atas pembayaran yang diterima, oleh PT JAK belum boleh diakui sebagai Pendapatan.
Sebab belum timbul beban dan biaya sehubungan dengan pemesanan barang tersebut. Untuk sementara, uang yang diterima diakui sebagai “Deposit Pelanggan” dengan jurnal sbb:
[Debit]. Kas = Rp 750,000,000 (masuk ke Neraca)
[Kredit]. Deposit Pelanggan = Rp 750,000,000 (masuk ke kelompok Liabilitas di Neraca)
Nah saldo “Deposit Pelanggan” inilah yang memerlukan JURNAL PENYESUAIAN setiap kali PT JAK mengakui “Pendapatan” di satu sisinya dan pengakuan “Harga Pokok Penjualan” di sisi lainnya, yakni saat pengiriman barang.
Sesuai jadwal, PT JAK mengirimkan barang tahap pertama pada tanggal 25 Januari 2014 senilai Rp 250 Juta dengan Harga Pokok Penjualan sebesar Rp 150 juta, dan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN sbb:
[Debit]. Deposit Pelanggan = 250,000,000 (mengurangi saldo Deposit pelanggan)
[Kredit]. Penjualan = Rp 250,000,000 (masuk Laba/Rugi Januari 2014)
Dan:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 150,000,000 (masuk Laba/Rugi januari 2014)
[Kredit]. Persediaan = Rp 150,000,000 (mengurangi saldo Persediaan di Neraca)
PT. JAK akan terus membuat JURNAL PENYESUAIAN atas saldo Depostit Pelanggan hingga nilainya mencapai nol alias habis, yang dijadwalkanakan terjadi pada tanggal 25 Maret 2014.
Disamping akun “Deposit Pelanggan”, akun lain yang perlu penyesuaian adalah akun “Penadapatan Diterima Di Muka.”

CONTOH KASUS:
PT JAK menyewakan salahsatu ruang kantornya senilai Rp 100 juta kepada PT Maju Jaya selama 5 tahun. Atas Sewa tersebut PT JAK menerima pembayaran penuh.
Sama seperti Deposit Pelanggan, penerimaan pembayaran sewa ini juga tidak diakui sebagai pendapatan, melainkan sebagai “Pendapatan Sewa Diterima Di Muka” yang saldonya akan disesuaikan setiap akhir periode dengan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN.

4. Biaya Diakrualkan
Suatu biaya diakrualkan apabila biaya tersebut sudah harus diakui sementara angka pastinya belum diketahui. Kondisi ini lumrah terjadi pada biaya listrik, biaya telepon dan biaya gaji.

CONTOH KASUS:
Sesuai dengan prinsip kesesuaian (matching principle), pengunaan listrik PT. JAK untuk bulan Januari 2014 harus diakui di bulan yang sama, sementara tagihan dari PLN biasanya baru diterima sekitar tanggal 15-20 Februari 2014—sehingga angka “Biaya Listrik” belum diketahui secara pasti.
Agar biaya listrik Januari bisa diakui di bulan Januari maka menjelang penutupan buku (31 Januari 2014) PT JAK mengakrualkan Biaya Listrik dengan menggunakan tagihan bulan sebelumnya sebagai patokan. Sehingga pengakuan “Biaya Listrik” diakrualkan dengan jurnal sbb:
[Debit]. Biaya Listrik = Rp 50,500,000 (masuk ke Laba/Rugi)
[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 50,500,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)
(Catatan: Angka Rp 50,500,000 diambil dari tagihan listrik bulan sebelumnya).
Disamping itu, PT JAK juga mengakrualkan “Biaya Telpon” untuk Januari 2014, karena kondisi yang sama dengan Biaya Listrik. Menggunakan biaya telepon bulan sebelumnya, pada tanggal 31 Januari PT JAK mengakrualkan pengakuan biaya telepon dengan jurnal sbb:
[Debit]. Biaya Telepon = Rp 7,500,000 (masuk ke Laba/Rugi)
[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 7,500,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)
(Catatan: Angka Rp 7,500,000 diambil dari tagihan telepon bulan sebelumnya).
PT JAK bayar gaji setiap tanggal 5, sehingga untuk Biaya Gaji bulan Januari 2014 angka pastinya baru bisa diketahui antara tanggal 2-3 Februari 2014. Agar biaya gaji bulan Januari bisa diakui diakui di bulan yang sama, maka tanggal 31 Januari 2014 PT JAK mengakrualkan biaya gaji sbb:
[Debit]. Biaya Gaji = Rp 125,800,000 (masuk ke Laba/Rugi)
[Kredit]. Biaya Diakrualkan = Rp 125,800,000 (Masuk ke Liabilita di Neraca)
(Catatan: Angka Rp 125,800,000 diambil dari catatan Biaya Gaji bulan sebelumnya).
Yang paling penting untuk disadari dalam hal ini adalah: biaya listrik, biaya telepon dan biaya gaji PT JAK belum mewakili kondisi sebenarnya. Sehingga, pengakuan “Laba/Rugi” PT JAK untuk periode Januari 2014 bisa jadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Artinya juga, akun “Laba Ditahan” PT JAK di Neraca juga belum mewakili nilai sebenarnya. Untuk itu perlu di sesuaikan ketika tagihan masing-masing biaya dketahui secara pasti.
Misalnya:
Tanggal 3 Februari 2014, Bagian HRD PT. JAK mengajukan Biaya Gaji untuk Januari 2014 sebesar Rp 128,000,000. Dari sini staf accounting PT JAK mengetahui bahwa Biaya Gaji yang dibebankan di Januari 2014 lebih kecil Rp 2,200,000 (=128,000,000 – 125,800,000) diabandingkan biaya sebenarnya. Berarti pengakuan “Laba” PT JAK untuk Januari 2014 menjadi lebih diakui Rp 2,200,000—thus saldo “Laba Ditahan” juga menjadi lebih diakui sejumlah yang sama. Untuk itu perlu disesuaikan agar mewakili kondisi sebenaranya dengan memasukkan JURNAL PENYESUAIAN sbb:
[Debit]. Laba Ditahan = Rp 2,200,000 (Saldo Laba Ditahan berkurang 2,200,000)
[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 125,800,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)
[Kredit]. Utang Gaji = Rp 128,000,000 (Sesuai yang diajukan HRD)
Saat gaji dibayarkan (Tanggal 5 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:
[Debit]. Utang Gaji = Rp 128,000,000 (saldo Utang Gaji menjadi nol)
[Kredit]. Kas = Rp 128,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 128,000,000)
Pada tanggal 15 Februari 2014 PT JAK menerima tagihan dari PLN untuk penggunaan Listrik Januari 2014 sebesar Rp 49,000,000. Sehingga pengakuan Biaya Listrik Januari lebih besar Rp 1,500,000 (=50,500,000 – 49,000,000) dibandingkan tagihannya. Artinya saldo Laba Ditahan kurang diakui sebesar yang sama. Agar mewakili kondisi sebenarnya, maka PT. JAK memasukan JURNAL PENYESUAIAN sbb:
[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 50,500,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 1,500,000 (Saldo Laba Ditahan bertambah 1,500,000)
[Kredit]. Utang – PLN = Rp 49,000,000 (Sesuai tagihan dari PLN)
Saat Listrik di bayar (Tanggal 18 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:
[Debit]. Utang – PLN = Rp 49,000,000 (saldo Utang-PLN menjadi nol)
[Kredit]. Kas = Rp 49,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 49,000,000)
Pada tanggal 17 Februari 2014 PT JAK menerima tagihan dari PT TELKOM INDONESIA untuk penggunaan telepon Januari 2014 sebesar Rp 7,000,000. Sehingga pengakuan Biaya Telepon Januari lebih besar Rp 500,000 (=7,500,000-7,000,000) dibandingkan tagihannya. Artinya saldo Laba Ditahan juga kurang diakui sebesar Rp 500,000. Supaya mewakili kondisi sebenarnya, maka PT. JAK memasukan JURNAL PENYESUAIAN sbb:
[Debit]. Biaya Diakrualkan = Rp 7,500,000 (Saldo Biaya Diakrualkan menjadi nol)
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 500,000 (Saldo Laba Ditahan bertambah 500,000)
[Kredit]. Utang – PT TELKOM = Rp 7,000,000 (Sesuai tagihan dari PT TELKOM)
Saat Telepon di bayar (Tanggal 19 Februari 2014), PT. JAK memasukkan Jurnal sbb:
[Debit]. Utang – PT TELKOM = Rp 7,000,000 (saldo Utang – PT TELKOM menjadi nol)
[Kredit]. Kas = Rp 7,000,000 (saldo Kas berkurang Rp 49,000,000)
Itulah yang disebut jurnal penyesuaian (adjustment entry).

Kesimpulan: Jurnal Pembetulan vs Penyesuaian
Jurnal pembetulan dan jurnal penyesuaian, 2 jenis jurnal yang dibuat untuk maksud berbeda.
Jurnal Pembetulan/Koreksi” (Correction Entry), adalah jurnal khusus yang dibuat untuk memperbaiki keslahan jurnal. Perbaikan atas kesalahan akun sering disebut “reklasifikasi.” Kesalahan jurnal bisa terjadi pada akun mana saja. Bila kesalahan terjadi pada transaksi di periode yang sama, jurnal pembetulan selalu dianjurkan. Namun bila kesalahan terjadi di periode berbeda, maka perlu mempertimbangkan apakah kesalahan tergolong self-corrected atau tidak. Jurnal koreksi diperlukana pada transaksi yang tidak self-corrected.
Sedangkan “Jurnal Penyesuaian” (Adjustment Entry) adalah jurnal yang dibuat untuk menyesuaikan nilai saldo akun-akun tertentu agar sesuai dengan kondisi sebenarnya. Akun yang saldonya perlu disesuaikan biasanya akun yang timbul akibat adanya pengakuan biaya yang disegerakan (=diakrualkan) atau ditunda (=dideferalkan). Beberapa contoh akun yang biasanya memerlukan jurnal penyesuaian, antara lain: Deposit Supplier, Biaya Dibayar Di Muka (Prepaid), Akumulasi Penyusutan/Amortisasi, Deposit Pelanggan dan Pendapatan Diterima Dimuka, Biaya Diakrualkan

Minggu, 10 Agustus 2014

Memahami Logika Laporan Keuangan



Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)


Produk akhir dari proses akuntansi, yang paling penting, adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, manajemen, pemilik perusahaan, dan sesiapapun yang berkepentingan, bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Ironinya, dari sekian banyak pihak yang berkentingan atas produk ini, yang sungguh-sungguh memahami logika laporan keuangan tidak banyak. Dan itu bisa dimengerti karena mereka memang berasal dari kalangan yang berbeda-beda—mungkin malah lebih banyak yang dari luar akuntansi dan keuangan.

Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat laporan itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik laporan keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah saya temukan berkali-kali.
Mana mungkin. Bukankah orang-orang accounting memang dididik dan ditempa—sejak di bangku kuliah—untuk sungguh-sungguh menguasai akuntansi?
Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di kampus-kampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak sungguh-sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat.
Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar. Tetapi begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri darimana sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan. Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan “mengapa bisa demikian?”-pun tidak bisa.
Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab “karena cost-nya tinggi,” nanti terjebak sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya menunjukan angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?
3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi mengapa tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?

Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika akuntansi yang sangat sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua perusahaan. Kenyataannya, saat ditanya pegawai accounting seringkali gelagapan, akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya, minimal mereka bisa menjelaskan “mengapa bisa terjadi demikian?”.
Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan keuangan, mestinya mereka bisa memberi saran dan masukan bagi manajemen mengenai apa yang perlu (atau tak perlu) dilakukan di masa-masa yang akan datang agar masalah yang sama tidak terjadi lagi.
Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah jauh lebih baik), materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang tersedia sangat sempit, “so little time, so many things to do.”
Mata kuliah ‘Akuntansi Dasar’ (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi yang begitu banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan. Setiap pertemuan selalu digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang isinya memang semuanya bersifat teknikal. Samasekali tidak ada ruang untuk menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi (mulai dari siklus akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan).
Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja, BETUL. Bahwa bangku kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA (terutama untuk universitas non-elite, tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai kapur tulis, seperti tempat saya berkuliah dahulu).
Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU.
Tantangan utamanya—terutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana caranya mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada habisnya?
Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa ‘Jurnal Akuantansi Keuangan’ (JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan diskusi sambil mengasah skill akuntansi (hard maupun soft skill) di sela-sela rutinitas sehari-hari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya bahwa keberadaan JAK pastinya masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan bisa menjadi alternative sekaligus awal yang baik.

Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan keuangan.
Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang berkepentingan bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?
Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri sebagai sesorang yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Untuk sementara lupakan status anda saat ini (sebagai pegawai accounting), anggap diri anda adalah pemilik usaha.
Nah, sebagai pemilik usaha, apa yang ingin anda ketahui mengenai kondisi keuangan perusahaan?
Saya coba menebak-nebak (dengan menggunakan kelaziman). Sebagai pengusaha, minimal anda ingin tahu 2 hal berikut ini:

1. Kekayaan Perusahaan
Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam kondisi baik-baik saja? “Baik-baik saja” dalam hal ini maksudnya: Dapat beroperasi secara lancar.
Perusahaan hanya akan bisa lancar beroperasi bila:
(a) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari;
(b) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu: mampu membayar utang kepada vendor/supplier, bank, dan membayar dividen kepada pemegang saham;
(c) Memiliki persediaan (bahan baku untuk diproduksi atau barang jadi untuk di jual);
(d) Memiliki sarana dan fasilitas yang cukup untuk menunjang kelancaran operasional perusahaan.
Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki “kekayaan” yang cukup untuk bisa beroperasi dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACA—yang sering juga disebut sebagai “Laporan Posisi Keuangan.”
Masih ingat dengan persamaan akuntansi di bawah ini?
Aktiva (asset) = Kewajiban (Liability) + Ekuitas Pemilik (equity)
Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh necara sederhana di bawah ini:
 





















Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi keuangan perusahaan dan memperoleh informasi sbb:
Kekayaan kotor perusahaan sama dengan total nilai aktiva (asset)-nya. Dalam contoh ini adalah 137. Jika dibandingkan dengan total kewajiban (utang) yang sebesar 67, masih ada selisih kekayaan sebesar 70. Selisih yang 70 inilah yang disebut dengan “Kekayaan Bersih (Net Asset atau Net Worth)” perusahaan.
Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset dijual maka semua utang bisa dilunasi.
Jika kembali ke contoh pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan: Mestinya perusahaan bisa memenuhi kewajibannya, tetapi mengapa banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
Untuk menjawab pertanyaan spesifik seperti ini, perhatian harus diarahkan ke elemen-elemen neraca yang lebih kecil. Pada sisi aktiva nampak akun “Kas” saldonya hanya 10, sementara akun “Utang Dagang” di sisi sisi Kewajiban nampak sebesar 30. Jelas perusahaan akan mengalami defisit (kekurangan) kas sebesar 20, sehingga banyak vendor yang mengalami penundaan pembayaran.
Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang perlu dilakukan oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?
Bentuk Neraca sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjawab semua kemungkinan pertanyaan yang ada. Dengan catatan, anda harus memahami logikanya. Dari total aktiva (asset) sebesar 137, mengapa akun kas nilainya hanya 10, dimana sisanya? Perhatian di alihkan ke elemen-elemen aktiva (asset) lainnya, yaitu:
  • Piutang = 85
  • Persediaan = 32
  • Aktiva Tetap = 10.
Nah ketahuan sudah, asset menumpuk di akun “Piutang” sebesar 85. Sehingga pertanyaan “mengapa”-nya sudah terjawab. Tinggal berpikir bagaimana cara mengatasinya dan cara mencegahnya di waktu yang akan datang. Untuk mengatasinya manajemen perusahaan perlu memfokuskan perhatian pada proses penagihan piutang—mungkin dengan menawarkan potongan untuk pembayaran lebih awal, kalau perlu panggil debt collector jika mengalami kesulitan penagihan. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, manajemen perlu mengubah kebijakan kredit—mungkin di buat lebih ketat lagi, lebih selektif terhadap pemberian kredit,  termin pembayaran di perpendek, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total “Ekuitas Pemilik” meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70. Mengapa angkanya sama dengan “Kekayaan Bersih” perusahaan yaitu 70, apakah karena kebetulan?
Tidak. Ini berasal dari persamaan dasar akuntansi: Asset = Kewajiban + Equitas Pemilik. Dengan demikian, maka: Equitas Pemilik = Asset – Kewajiban. Nah jika Kekayaan Bersih = Asset – Kewajiban, Maka otomatis: Kekayaan Bersih = Ekuitas Pemilik.
Jika kembali ke pertanyaan di awal tulisan: “Mengapa ekuitas pemiliki meningkat tetapi tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham”? (dengan kata lain perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada pemegang saham)
Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki cukup persediaan Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi sebelumnya.
Lebih detail mengenai ketersediaan kas dan pengalokasiannya (apakah sudah seperti yang direncanakan, apakah dipergunakan secara efeisien, dan lain sebagainya) bisa dilihat di “Laporan Arus Kas”.
Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa saham) wajib ada. Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa tidak. Mengapa boleh ada boleh tidak? Karena “Laporan Arus Kas” hanya merupakan rincian lebih detail dari akun “Kas” di Neraca. Sehingga pada dasarnya, nilai akhir dari laporan arus kas sama dengan saldo yang ada pada akun “Kas” di Neraca. (Catatan: Saya akan membahas laporan arus kas secara terpisah (di tulisan lain).
Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah “Tanggal Neraca” (dibawah tulisan “NERACA PT. JAK”), dalam contoh ini adalah “Per 31 Januari 2012.” Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan Kekayaan Bersih sebesar 70 adalah “Kekayaan Perusahaan” per tanggal 31 Januari 2012. Itu sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca didefinisikan sebagai “Laporan yang menyajikan posisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu.” Di U.S. sana sering disebut dengan “Snapshot of Financial Position.”

2. Untung atau Rugi
Mengetahui berapa besarnya kekayaan perusahaan, mengetahui apakah perusahaan mampu melunasi utang-utangnya saja, belumlah cukup. Sebagai pengusaha anda juga ingin tahu:
  • Apakah bulan/tahun ini anda untung atau rugi? Jika rugi, mengapa?
  • Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya, boros?
  • Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu?
Semua jawabanya ada di ‘Laporan Laba Rugi.’ Untuk visualisasi silahkan lihat contoh Laporan Laba Rugi PT. JAK di bawah ini:









 















Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas bahwa:
(a) Pendapatan (Revenue) sebesar 187
(b) Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50
(c) Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137
(d) Biaya-biaya 132
(e) Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5
Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda sebagai pengusaha? Sudah pasti “Laba Bersih”. Laba bersih menunjukan angka 5. Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang menunjukan angka 187. Dengan kata lain, profit margin anda hanya 3% (=5/187). Kalau begini ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di deposito kan?
Lalu anda tanya orang accounting “Mengapa labanya hanya 5, padahal revenuenya tinggi? Pasti ada yang tidak beres di sini.”
Mungkin dengan cekatan mereka menjawab “Karena biayanya tinggi, boss.”
Ya iyalah. Revenue tinggi, wajar jika biaya juga tinggi (kecuali yang bikin barang dari golongan jin.) Tidak usah orang manajemen, Mbok Jum warung sebelah juga tahu pendapatan dikurangi biaya sama dengan laba atau rugi. Tapi, bukankah bila revenue tinggi, biaya tinggi, mestinya laba masih tetap tinggi?
Pertama, mungkin mereka akan memeriksa kembali angka-angka di laporan, dibandingkan dengan neraca saldo, dibandingkan dengan buku besar, bahkan bukti transaksi dibandingkan dengan catatan transaksi (jurnal) satu-per-satu. Semua perhitungan diperiksa satu per satu. Beberapa hari kemudian mereka kembali dengan jawaban “Semua angka sudah saya periksa, hasilnya benar dan akurat. Semua jurnal sudah benar, tidak ada transaksi yang tertinggal atau diposting dua kali”.
Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir menjunal dan membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami logika akuntansi dengan baik.
Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam hal ini), mereka tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu, bahkan mungkin tidak sampai perlu memeriksa saldo buku besar. Cukup hanya dengan melihat Laporan secara sepintas (scanning) dari atas kebawah:
Pertama anda lihat “Pendapatan (revenue)”, lalu anda bandingkan dengan “Harga Pokok Penjualan”, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan sebesar 187, apakah logis jika harga pokok penjualannya 50 sehingga laba kotornya menjadi 137? Permasalahan dilokalisir sampai di sini dahulu.
Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat bantu di bawah “Laba Kotor (Gross Profit)” yang disebut dengan “Gross Profit Margin” yang menunjukan angka 73%. Angka ini tidak akan ada di sana jika tidak ada fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui apakah perbandingan antara pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah gross profit margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant anda, merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk produk yang dijual. Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73% ini dengan angka gross profit margin bulan lalu—jika perlu, tarik hingga satu tahun ke belakang untuk melihat ‘trend’-nya.
Saya pribadi, untuk penelusuran cepat, memilih menggunakan kelaziman dan benchmark. Dari sana saya tahu bahwa untuk jenis usaha manufaktur gross profit margin ada di kisaran 25 hingga 50%. Untuk jenis perusahaan jasa ada di kisaran 50 hingga 70%. Dan untuk jenis usaha trading (termasuk retail) ada di kisaran 70 hingga 200%.
Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka angka gross profit margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar masalahnya sudah pasti tidak ada di antara wilayah revenue hingga harga pokok penjualan. Lalu dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-biaya.
Selanjutnya tinggal scanning wilayah akun-akun biaya yang ada di laporan laba rugi. Diantara biaya-biaya tersebut mana yang terlihat tidak wajar? Jika anda punya laporan laba rugi bulan sebelumnya, anda tinggal meletakannya secara bersisian dengan laporan laba rugi Januari 2012 ini, lalu bandingkan. Dalam contoh ini saya tidak buatkan laporan laba rugi bulan sebelumnya sebagai pembanding. Angka yang janggal langsung saja saya beri warna merah, yaitu “Biaya Telepon” sebesar 35. Mengapa ini janggal? Bandingkan dengan “Biaya Gaji?”—apakah logis biaya telepon lebih besar dibandingkan biaya gaji dalam sebuah perusahaan manufaktur? Tidak logis.
“Bukankah tadi sudah diperiksa oleh orang accounting dan mereka mengatakan semua transaksi sudah diperiksa hingga ke nota-nya dan hasilnya akurat?”
Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG YANG BOROS MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu besar sudah pasti ada pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan perusahaan. Selanjutnya tinggal kirim memo ke HRD untuk investigasi lebih lanjut (siapa yang menelpon pacar berjam-jam setiap hari?). Untuk mencegah agar tidak tejadi lagi di masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat aturan pemakaian telepon. Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI hanya untuk manajer ke atas dengan menggunakan PIN—sehingga penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan untuk staff, jika perlu interlokal, SLI atau handphone harus via operator (front office) dengan approval dari manajer.
Logika-logika dasar seperti ini sangat perlu terus diasah, agar penguasaan akuntansi dan keuangan menjadi semakin matang, sehingga bisa menjalankan fungsi dengan baik, bisa memberi masukan yang bermanfaat bagi perusahaan.
Ini baru sebagian kecil dan masih di permukaan. Semakin dalam menyelam, semakin detail, sudah pasti semakin banyak pula ragam logika akuntansi yang harus dipelajari. Tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dikuasai secara instant. Butuh waktu, kesabaran dan kesungguhan.
Bagi mereka yang sudah bekerja, dan masih merasa perlu mengasah kemampuan akuntansi melalui pemahaman logika-logikanya, tidak ada cara selain “Learn as you go.” Modal awalnya hanya satu: selalu penasaran/ingin tahu. Selanjutnya tergantung pada seberapa besar keberanian kita dalam mengikuti instinct rasa ingin tahu itu.
Semoga sukses!

Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/01/memahami-logika-laporan-keuangan-neraca-dan-laba-rugi/